Bahasa Jurnalistik
Suci Robiatus Sholehah 1113051000136
1. Pengertian dan fungsi bahasa
Kamus besar Bahasa Indonesia secara terminology mengartikan bahasa sebagai system lambing bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasiakan diri[1].
Karenanya, dunia pers atau jurnalistik harus menggunakan bahasa yang baik dan benar agar khalayak dapat memahami informasi yang disampaikan dengan mudah. Selain itu dunia pers juga memiliki kaidah-kaidah bahasa agar bahasa yang digunakan dalam menyampaikan informasi lebih mudah lagi dipahami dan ridak membosankan khalayak. Prinsipnya bahasa jurnalistik itu harus jelas, padat, ringkas dan lugas[2].
Untuk itulah dibuat ketentuan-ketentuan dalam bahasa jurnalistik, antara lain:
1) Penggunaan kata harus ekonomis supaya berita bisa lebih pendek. Berita itu lebih pendek lebih baik, sebab khalayak biasanya sibuk, sehingga tidak punya waktu untuk membaca, mendengar atau menonton berita yang panjang.
2) Kalimat yang digunakan dalam menulis berita sebaiknya aktif dan dan bukan kalimat pasif
3) Kalimat dalam bahasa jurnalistik sebaiknya kalimat tunggal, karena lebih sederhana dan mudah dipahami. Tetapi kalau kalimat tunggal itu tidak bisa menggambarkan peristiwa secara lengkap, maka boleh menggunakan kalimat majemuk.
4) Ada baikinya lebih banyak menggunakan kata kerja dan sedikit kata benda.
5) Kalimat yang dipakai kalimat positif dan bukan kalimat negative.
6) Hendaknya tidak menggunakan kalimat yang kabur atau tidak jelas
Sementara fungsi bahasa menurut Mahmudah dan Ramlan (2007:2-3) adalah alat komunikasi antaranggota masyarakat Indonesia. Bahasa juga menunjukkan perbedaan antara satu penutur dengan penutur lainnya, tetapi masing-masing tetap mengikat kelompok penuturnya dalam satu kesatuan sehingga mampu menyesuaikan dengan adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat. Selain itu, fungsi bahasa juga melambangkan pikiran atau gagasan tertentu, dan juga melambangkan perasaan, kemauan bahkan dapat melambangkan tingkah laku seseorang[3]
Gorys Keraf(2001:3-8) menyatakan bahwa ada empat fungsi bahasa, yaitu:
a) Alat untuk menyatakan ekspresi diri
b) Alat komunikasi
c) Alat mengadakan integrasi dan adaptasi social
d) Alat mengadakan control social
2. Pedoman Penulisan Bahasa Jurnalistik
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 10 november 1987 di Jakarta mengeluarkan sepuluh pedoman pemakaian bahasa dalam pers. Kesepuluh pedoman ini berbicara tentang pemakaian ejaan, singkatan dan akronim, imbuhan, pemakaian kalimat pendek, ungkapan klise, kaki mubazir, kata asing dan istilah teknis, dan tiga aspek bahasa jurnalistik.
Berikut kutipan lengkap kesepuluh pedoman pemakaian bahasa dalam pers itu:
- Wartawan hendaknya secara konsekuen melaksanakan Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan. Hal ini juga harus diperhatiakan oleh para korektor karena kesalahan paling menonjol dalam surat kabar sekarang ini adalah kesalahan ejaan.
- Wartawan hendaknya membatasi diri dalam singkatan atau akronim. Kalaupun ia harus menulis akronim, maka satu kali ia harus menjelaskan dalam tanda kurung kepanjangan akronim tersebut supaya tulisannya dapat dipahami oleh khalayak ramai.
- Wartawan hendaknya menghilangkan imbuhan, bentuk awal atau prefix. Pemenggalan kata awalan me dapat dilakukan dalam kepala berita mengingat keterbatsan ruangan. Akan tetapi pemenggalan jangan sampai dipukulratakan sehingga merembet pula kedalam tubuh berita.
- Wartawan hendaknya menulis dengan kalimat-kalimat pendek. Pengutaraan pikirannya harus logis, teratur, lengkap dengan kata pokok sebutan, dan kata tujuan(subjek,predikat,objek). Menulis dengan induk kalimat dan anak kalimat yang mengandung banyak kata mudah membuat kalimat tidak dapat dipahami, lagi pula prinsip yang harus dipegang ialah "satu gagasan atau satu ide dalam satu kalimat".
- Wartawan hendaknya menjauhkan diri dari ungkapan klise atau ste-reotype yang sering dipakai dalam transisi berita seperti kata-kata sementara itu, dapat ditambahakan, perlu diketahui, dalam rangka. Dengan demikian dia menghilangkan monotoni (keadaan atau bunyi yang selalu sama saja), dan sekaligus dia menerapkan ekonomi kata atau penghematan dalam bahasa.
- Wartawan hendaknya menghilangkan kata mubazir seperti adalah (kata kerja kopula), telah (penunjuk masa lampau), untuk (sebagai terjemahan to dalam bahasa inggris), dari (sebagai terjemahan of dalam hubungan milik), bahwa (sebagai kata sambung) dan bentuk jamak yang tidak perlu diulang.
- Wartawan hendaknya mendisiplinkan pikirannya supaya jangan campur aduk dalam satu kalimat bentuk pasif (di) dengan bentuk aktif (me).
- Wartawan hendaknya menghindari kata-kata asing danistilah-istilah yang terlalu teknih ilmiah dalam berita. Kalaupun terpaksa menggunakannya maka sau kali harus dijelaskan pengertian dan maksudnya.
- Wartawan hendaknya sedapat mungkin menaati kaidah tatabahasa.
- Wartawan hendaknya ingat bahasa jurnalistik ialah bahasa yang komunikatif dan spesifik sifatnya, dan karangan yang baik dinilai dari tiga aspek yaitu isi, bahasa,dan teknik persembahan[4].
3. Kode Etik Jurnalistik
Dalam menjalankan tugasnya, wartawan selain dibatasi oleh ketentuan hokum, seperti Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, juga harus berpegang kepada kode etik jurnalistik. Tujuannya adalah supaya wartawan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya, yaitu mencari dan menyiarkan informasi.
Di Indonesia saat ini banyak organisasi wartawan. Karena itu, kode etik jurnalistik juga berbagai macam, antara lain kode etik jurnalis televisi Indonesia, kode etik wartawan Indonesia, dan kode etik jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)[5].
Pasal 1
Kepribadian Wartawan Indonesia
Wartawan Indonesia adalah warga Negara yang memiliki kepribadian:
1. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2. Berjiwa Pancasila;
3. Taat pada UNdang-Undang Dasar 1945;
4. Bersifat kesatria;
5. Menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia;
6. Berjuang untuk emansipasi Bangsa dalam segala lapangan, sehingga dengan demikian turut bekerja kea rah keselamatan Masyarakat Indonesia sebagai anggota Masyarakat Bangsa-bangsa di dunia.
Pasal 2
Pertanggung jawaban
1. Wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan perlu/patut atau tidaknya suatu berita, tulisan, gambar, karikatur dan sebagainya disiarkan.
2. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan:
a. Hal-hal yang bersifat destruktif dan dapat merugikan Negara dan Bangsa;
b. Hal-hal yang dapat menimbulkan kekacauan
c. Hal-hal yang dapat menimbulkan atau keyakinan seseorang atau suatu golongan yang dilindungi oleh Undang-Undang.
3. Wartawan Indonesia melakukan pekerjaannya berdasarkan kebebasan yang bertanggung jawab demi keselamatan umum.
Ia tidak menyalahgunakan jabatan dan kecakapannya untuk kepentingan sendiri dan/ atau kepentingan golongan.
4. Wartawan Indonesia dalam menjalankan tugas jurnalistiknya yang menyangkut Bangsa dan Negara lain, mendahulukan kepentingan nasional Indonesia.
Pasal 3
Cara Pemberitaan dan Menyatakan Pendapat
1. Wartawan Indonesia menempuh jalan dan cara yang jujur untuk memperoleh bahan-bahan berita dan tulisan dengan selalu menyatakan identitasnya sebagai wartawan apabila sedang melakukan tugas peliputan.
2. Wartawan Indonesia meneliti kebenaran sesuatu berita atau keterangan sebelum menyiarkan, dengan juga memperhatikan kredibilitas sumber berita yang bersangkutan.
3. Didalam menyusun suatu berita, Wartwan Indonesia membedakan antara kejadian (fakta) dan pendapat (opini), sehingga tidak mencampur-campurkan fakta dan opini tersebut.
4. Kepala-kepala berita harus mencerminkan isi berita.
5. Dalam tulisan yang memuat pendapat tentang sesuatu kejadian ("byline story"), Wartawan Indonesia selalu berusaha untuk bersikap obyektif, jujur dan sportif berdasarkan kebebasan yang bertanggung jawab dan menghindarkan dari cara-cara penulisan yang bersifat pelanggaran kehidupan pribadi (privacy), sensasional, immoral atau melanggar kesusilaan.
6. Penyiaran setiap berita atau tulisan yang berisi tuduhan yang tidak berdasar, desas-desus, hasutan yang dapat membahayakan keselamatan Bangsa dan Negara, fitnahan, pemutarbalikan sesuatu kejadian, merupakan pelanggaran berat terhadap profesi jurnalistik.
7. Pemberitaan tentang jalannya pemeriksaan perkara pidana di dalam siding-sidang pengadilan harus dijiwai oleh prinsip "praduga tak bersalah," yaitu bahwa seseorang tersangka baru dianggap bersalah telah melakukan tindak pidana apabila ia telah dinyatakan terbukti bersalah dalam keputusan pengadilan yang telah dimiliki kekuatan tetap.
8. Penyiaran nama secara lengkap, identitas dan gambar dari seorang tersangka dilakukan dengan penuh kebijaksanaan, dan dihindarkan dalam perkara-perkara yang menyangkut kesusilaan atau menyangkut anak-anak yang belum dewasa.
Pemberitaan harus selalu berimbang antara pembelaan dan dihindarkan terjadinya "trial by the press".
Pasal 4
Hak Jawab
1. Setiap pemberitaan yang kemudian ternyata tidak benar atau berisi hal-hal yang menyesatkan, harus dicabut kembali atau diralat atas keinsafan wartawan sendiri.
2. Pihak yang merasa dirugikan wajib diberi kesempatan secepatnya untuk menjawab atau memperbaiki pemberitaan yang dimaksud, sedapat mungkin dalam ruangan yang sama dengan pemberitaan semula dan maksimal sam apnjangnya, asal saja jawaban atau perbaikan itu dilakukan secara wajar.
Pasal 5
Sumber Berita
1. Wartawan Indonesia menghargai dan melindungi kedudukan sumber berita yang tidak bersedia disebut namanya. Dalam hal berita tanpa menyebut nama sumber tersebut disiarkan, maka segala tanggung jawab berada apda wartawan dan/atau penerbit pers yang bersangkutan.
2. Keterangan-keterangan yang diberikan secara " off the record" tidak disiarkan, kecuali apabila wartawan yang bersangkutan secara nyata-nyata dapat membuktikan bahwa ia sebelumnya memiliki keterangan-keterangan yang kemudian ternyata diberikan secara "off the record" itu.
3. Jika seorang wartawan tidak ingin terkait pada keterangan yang akan diberikan dalam suatu pertemuan secara "off the record," maka ia dapat tidak menghadirinya.
4. Wartwan Indonesia dengan jujur menyebut sumbernya dalam menguti berita, gambar atau tulisan dari suatu penerbitas pers, baik yang terbit didalam maupun diluar negeri. Perbuatan plagiat, yaitu mengutip berita, gambar atau tulisan tanpa menyebutkan sumbernya, merupakan pelanggaran berat.
5. Penerimaan imbalan atau sesuatu janji untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan suatu berita, gambar atau tulisan yang dapat menguntungkan atau merugikan seseorang, sesuatu golongan atau sesuatu pihak dilarang sama sekali.
Pasal 6
Kekuatan Kode Etik
1. Kode Etik ini dibuat atas prinsip bahwa pertanggung jawaban tentang penataannya berada terutama pada hati nurani setiap wartawan Indonesia.
2. Tiada suatu pasalpun dalam Kode Etik ini yang memberikan wewenang kepada golongan manapun diluar PWI untuk mengambil tindakan seorang wartawan Indonesia atau terhadap penerbitan pers di Indonesia berdasarkan fasal-fasal dalam Kode Etik ini, karena sanksi atas pelanggaran Kode Etik ini adalah merupakan hak organisasi dari Persatuan Wartwan Indonesia (PWI) melalui organ-organnya[6][r1] .
[1] Suhaemi dan Nasrullah, Ruli, bahasa jurnalistik, h.1.
[2] Tebba, Sudirman, jurnalistik baru, h. 118-122
[3] Suhaemi dan Nasrullah, Ruli, bahasa jurnalistik, h.1-2.
[4] Suhaemi dan Nasrullah, Ruli, bahasa jurnalistik, h. 9-10.
[5] Tebba, Sudirman, jurnalistik baru, h. 136.
[6] Muhtadi, Asep Saeful, Jurnalistik Pendekatan Teori dan Prkatik,h.255.
*Disalin dari PD/PRT, Kode Etik Jurnalistik, dan Sepuluh Pedoman Bagi Wartawan, yang diterbitkan oleh PWI Pusat.
0 komentar:
Posting Komentar